Minggu, 15 Juni 2025

Connecting the Dots - Ilmu Hikmah

Steve Jobs, mas-mas dari Amerika yang bikin iPhone dan komputer mahal itu, pernah bilang begini: “You can’t connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards.” Ia menyampaikannya dalam pidato wisuda di Stanford University tahun 2005. Kalau dibahasakan dengan gaya warung kopi, kira-kira artinya gini: hidup itu kayak gambar titik-titik di buku anak-anak, waktu lagi ngerjain belum jelas bentuknya apa, tapi nanti kalau udah selesai, kita baru ngeh—ternyata semua garisnya nyambung dan bikin gambar singa yang utuh. 

Mas Jobs ini juga bukan cuma ngomong, tapi pernah ngalamin betul. Dia pernah didepak dari Apple—perusahaan yang dia dirikan sendiri. Bayangin, itu kayak kita disuruh keluar dari rumah padahal kita yang bangun rumahnya dari bata pertama. Sakitnya tuh bukan cuma di hati, tapi sampai ke tulang ekor. Tapi anehnya, bertahun-tahun kemudian, dia bilang kalau kejadian itu justru salah satu hal terbaik yang pernah terjadi. Kenapa? Karena justru dari situ dia bisa bikin Pixar, bikin NeXT, dan akhirnya balik ke Apple dengan ide-ide yang lebih segar dan berani.

Belum cukup sampai situ, Steve Jobs juga pernah divonis kanker pankreas dan katanya umurnya nggak bakal lama. Tapi dari situ, dia sadar: hidup ini terlalu pendek buat dijalanin dengan pura-pura. Akhirnya dia fokus cuma sama hal-hal yang penting. Nggak buang-buang waktu buat nyenengin semua orang, nggak hidup berdasarkan ekspektasi orang lain. Hidupnya jadi lebih jujur dan tulus, kayak mie ayam tanpa micin—sederhana tapi berasa.

Nah, dari kisah ini kita bisa belajar: bisa jadi hari ini kamu lagi di fase yang rasanya nggak banget. Kerja nggak sesuai passion, bisnis sepi padahal udah promosi sampe reels masuk FYP, atau mungkin kamu lagi di titik bingung, “Aku ini sebenernya cocoknya ngapain sih?” Tenang, semua itu titik juga. Titik-titik yang belum nyambung sekarang, tapi suatu hari nanti—entah kapan—bakal kelihatan polanya. Dan waktu itu datang, kamu bakal nyeletuk, “Oh, pantes dulu aku ngalamin itu.”

Gitu, Mas. Kurang lebih semangatnya: “Santai wae, urip ki mung mampir nyambung titik.”